Jumat, 04 Maret 2011

Gempa Bumi/Tsunami Mentawai dan Cerita Para Relawan

Surel Cetak PDF
Oleh Minar Kartika Panjaitan
Peristiwa gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kep. Mentawai pada tanggal   25 Oktober 2010 yang lalu, menyisakan kesan tersendiri bagi pekerja kemanusiaan yang melayani para korban di kepulauan yang indah tersebut. Demikian halnya dengan Yayasan Tanggul Bencana Indonesia yang mengirimkan staffnya untuk melayani dan bekerja pada saat tanggap darurat, perasaan sedih terharu melihat kondisi daerah yang berdampak dan perasaan takjub melihat keindahan alam kepulauan Mentawai bercampur jadi satu,  berikut kisahnya:

Perjalanan Ke Munte Sabeu, lelah tapi mengesankan
(diceritakan oleh Riko Rahmat)
27 Oktober 2010 sore, setelah menunggu berjam-jam di Pelabuhan Bungus, akhirnya kapal KM Muci berlayar menuju Kota Sikakap, di Pulau Pagai Utara, Kepulauan Mentawai. Rico dan anggota tim lainnya tiba pukul 12.30 keesokan harinya (28 Oktober 2010). Saat itu, Sikakap belum ramai dan organisasi kemanusiaan belum banyak yang datang.
Rico, bersama Tim Medis Pelkesi, setelah berkoordinasi dengan Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM), pemerintah daerah, dan Ornol lain, berangkat menuju Dusun Munte Sabeu. Dusun  ini hanya bisa dicapai melalui laut dan kami berlayar dengan kapal kecil selama satu setengah jam untuk mencapainya.
Di Dusun Munte Sabeu, Tim Pelkesi melakukan pelayanan kesehatan, sedangkan Rico melakukan penjajakan. Saat itu, masyarakat sudah mengungsi ke tempat  lebih aman. Di Dusun Munte Sabeu, sejak 2007 lalu, sudah dibangun jalur evakuasi jika terjadi gempa dan tsunami. Sehingga ketika terjadi gempa 25 Oktober 2010 malam, masyarakat menyelamatkan diri ke tempat aman, yang sudah dipersiapkan. Salah seorang warga menceritakan, ketika dia merasakan getaran, dia langsung menyalakan televisi dan di dalam berita disebutkan gempa berkekuatan 7,2 SR dan berpotensi tsunami. Mereka langsung bersiap dan setelah tidak lagi mendengar suara ombak, mereka berlari secepatnya ke tempat aman. Rico berkomentar, menurut dia ini merupakan salah satu kearifan lokal warga dusun tersebut.
Beberapa saat setelah tsunami melanda, masyarakat Dusun Munte Sabeu memberikan pertolongan pertama kepada warga Dusun Purorogat, tetangga mereka. Mereka mencari penyintas (korban selamat) untuk dirawat. Menurut warga sebenarnya masih banyak korban ditemukan masih hidup, tapi karena mereka tidak tahu bagaimana merawat korban banyak yang akhirnya meninggal.
Rico melanjutkan perjalanan ke Durun Purorogat, yang paling parah terhantam tsunami karena 90% infrastruktur hancur. Banyak warganya meninggal akibat tersapu tsunami.
Sampai Rico dan tim meninggalkan Mentawai, 17 November 2010, warga Dusun Purorogat masih tinggal di tenda-tenda. Terlihat pasokan pangan sudah terpenuhi. Namun ladang-ladang mereka sudah hancur dan mereka juga mencoba mencari singkong di bawah tanah, yang tidak tersapu gelombang tsunami.
Setelah 4 hari melakukan pelayanan di Dusun Muntei Sabeu bersama Pelkesi, Rico dan teman-teman lainnya berencana kembali ke posko GKPM, namun jemputan kapal dari GKPM tak kunjung tiba karena seringnya badai dan gelombang laut yang tinggi. Karena itu, kami mencari inisitaif mencari jalan keluar menyusur jalan sampai 4 jam melewati sungai dan lumpur yang cukup dalam dan buah kelapa yang berserakan  dihantam oleh gelombang tsunami pun menjadi makanan kami untuk dapat bertahan.  Akhirnya kami tiba di Dusun Malakopa. Di dusun tersebut kami mendengar helikopter terbang rendah, kemudian bertanya kepada masyarakat tempat helikopter mendarat. Setelah mendapatkan petunjuk, kami menuju lapangan tempat dimana helikopter mendarat, dengan harapan dapat kembali ke posko.  Akhirnya pihak TNI yang mengendarai helikopter mengabulkan permintaan kami.

Distribusi logistik dan cara bertahan
(diceritakan oleh Nurhaimah Purba)
Menjadi sukarelawan pada saat tanggap darurat memiliki kesan tersendiri bagi Nurhaimah Purba, salah satu tim dari YTBI Sumbar. Betapa tidak, beberapa hari setelah peristiwa tsunami ia dan tim telah berada di lokasi kejadian. Ia menceritakan bagaimana kondisi Dusun Munte salah satu dusun di Pagai Utara yang hancur karena gelombang tsunami saat pertama kali menginjakkan kaki untuk distribusi paket logistik.
”Betapa terkejutnya saya ketika melihat tak satu bangunan pun berdiri di dusun tersebut. Yang ada hanyalah tumpukan sampah-sampah baik yang dibawa oleh ombak tsunami, seperti kayu dan pepohonan, juga sisa bangunan rumah, pakaian-pakaian, peralatan dan perlengkapan rumah tangga yang berserakan dan dalam kondisi tidak dapat digunakan, ditambah lagi dengan berserakannya kantong-kantong mayat yang tidak digunakan. Selain permasalahan kebersihan, udara dilokasi dusun tercemar bau bangkai, sehingga setiap warga dan para relawan sudah mengenakan masker,” ceritanya setelah kembali dari Mentawai.
Melihat kondisi yang terjadi pada dusun tersebut, ia dan tim dan tim merasa tersentuh dan sedih, namun tidak mengurungkan niat mereka untuk melanjutkan aktifitas hari itu yaitu mendistribusikan 50 paket logistik ke tempat pengungsian yang berjarak 1 KM dari tempat pemukiman yang telah luluh lantah. Di tengah perjalanan mereka sempat bertemu dengan para tokoh seperti ketua Bapak Jusuf Kala, yang menjabat sebagai ketua PMI dan mantan wakil presiden, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Bapak Selelubaja, Bupati Kab. Mentawai yang pada saat itu sedang melakukan kunjungan dan peletakan batu pertama pembangunan rumah sementara oleh pemerintah.
Pendistribusian hari itu berlangsung sekitar 6 jam dan jika merasa lelah atau haus tim relawan beristirahat dan memanfaatkan sumber alam seperti tebu untuk melegakan dahaga demikian kiat mereka bertahan saat tanggap darurat.
”Kami juga dijamu oleh salah satu warga untuk mengisi perut saat siang hari, sehingga lebih kuat untuk melakukan perjalanan,” tambahnya dengan tersenyum

Mentawai Saat ini
Bagi tim relawan YTBI, kepulauan Mentawai merupakan pulau yang memiliki alam yang sangat indah, yang dilukis oleh Sang Pencipta dengan sempurna. Namun kepulauan ini masih sangat minim tersentuh oleh kemajuan sarana dan prasarana.
Menurut Nurhaimah pulau-pulau dimana korban berada sebenarnya sebelum bencana terjadipun sudah sangat terisolir terlebih lagi saat gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada tanggal 25 Oktober 2010 yang lalu, semakin memperparah tatanan kehidupan warga korban. Menurutnya daerah-daerah yang berdampak sangat membutuhkan perhatian terlebih saat ini dua minggu setelah masa tanggap darurat para organisasi pekerja kemanusiaan sudah mulai lenggang.
Kapal Motor Ambu-Ambu pada tanggal 17 Nopember 2010 sore hari itu membawa tim relawan YTBI menuju Pelabuhan Teluk Bayur, kembali ke Pariaman untuk melanjutkan aktifitas selanjutnya. Mentawai dan para korban untuk sesaat ditinggalkan namun semangat melayani, masyarakat  dan keindahan pulau-pulau dan lautan yang terbentang tentu tak lekang dari ingatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar